Desa Seles Kecamatan Ledo Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat
1.
Beberapa Aspek Struktur Masyarakat
Desa Seles terdiri dari empat
dusun yaitu: Senapit, Seles, Tribun dan Sejaro. Desa tetangga Rodaya yang
warganya akrab dengan warga desa Seles. Desa itu terletak di pinggir jalan raya
ke Bengkayang yang terdiri dari tiga dusun, Segiro dengan 26 KK, Sedané 22 KK
dan Baya 37 KK. Struktur masyarakat tiap dusun sedikit berbeda dari yang lain
karena latar belakang historis dan adatnya tidak selalu sama.
Sebelumnya sudah digambarkan
bahwa masyarakat dusun Seles baru berpisah dari Senapit dengan alasan untuk
lebih dekat dengan ladang dan sungai yang terletak lebih strategis dan bisa
bermanfaat bagi kemajuan dari sudut ekonomi mereka. Menurut informan, keturunan
warga dusun Senapit dan Seles berasal dari tiga hubungan darah pokok atau klan.
Kebanyakan masyarakat Seles berasal dari satu kekerabatan, tetapi mereka
menerima dengan baik pendatang yang berniat tinggal di Seles. Desa seles pun
desa yang sebagian besar ditinggali oleh suku dayak kanayatan.
Kelompok bahasa suku Dayak
Kanayatan diklasifikasikan sebagai bagian keluarga dari bahasa induk
Austronesia. Lebih persis sub keluarga bahasa Malayu-Polinesia Barat menurut
sebuah organisasi ahli linguistik bernama Ethnologue. Suku Dayak Kanayatan
berlokasi di utara dari Pontianak dan selatan dari perbatasan Malaysia-Indonesia.
Kota yang penting di daerah suku Kanayatan adalah kota Bengkayang, Lumar,
Sangga-Ledo, Salamantan, Menjalin, Darit, Ngabang dan Serimbu. Kelompok
Kanayatan yang berbahasa Bakati tinggal di dusun Senapit, desa Seles, Kecamatan
Ledo yang terletak di kaki gunung Seles.
Menurut salah satu sumber sekitar
42 persen atau sekitar 1,5 juta jumlah penduduk di Kalbar dari latar belakang
etnis Dayak. Kebudayaan dan bahasa asli mereka beraneka ragam. Batas alam yang
sulit diseberangi seperti; pegunungan, hutan lebat, sungai besar, lembah dan
rawa merupakan garis yang memutus satu kelompok dari kelompok lain. Kita juga
harus sadar bahwa perbatasan bahasa atau daerah bahasa tidak selalu sama dengan
perbatasan atau daerah kebudayaan, dan tidak semua ahli mengikuti klasifikasi
yang sama, kadang-kadang menyebabkan kebingungan.
Menurut informan lokal “Kanayatan” berarti dalam
bahasa Indonesia (BI) “cara berbahasa”. Kelompok Kanayatan dibagi enam sub
bahasa sebagai berikut:
• Bakati, dalam BI berarti “tidak”. Bahasa
itu punya setidaknya 5 logat termasuk Palayo, Rara, Lumar, Riuk dengan jumlah
pembicara 4000 (1980). Bahasa ini mirip dengan bahasa Nyadu.
• Nyadu, dalam BI berarti “tidak”. Bahasa
ini punya setidaknya dua logat; Hulu Ngabang, Perigi, dengan jumlah pembicara
mungkin 5000 (1981) Bahasa ini mirip dengan bahasa Bakati.
• Ahé, dalam BI berarti “apa”. Bahasa ini
punya dua logat, di Mempawah Hulu dan Sengah Temula, jumlah pembicara 30000
(1990). Juga, dikenal sebagai Ahé Dayak. Bahasa Ahé mirip dengan
bahasa Jaré.
• Jaré, dalam BI berarti “katanya”.
Pembicara berada di Montrado dan Salmalantan dan daerah lain, jumlah pembicara
belum dapat dipastikan.
• Ampapé, dalam BI berarti “bagaimana”.
Pembicara berada di Darit, Menyukee, dan daerah lain, jumlah pembicara belum
dapat dipastikan. Bahasa ini mirip dengan bahasa Langin.
• Langin, dalam BI berarti “tidak”.
Pembicara berada di utara dari Ngabang, hulu sungai Landak dan Tubang, jumlah
pembicara belum dapat dipastikan.
2.
Mata Pencarian dan Seni
A. Kebutuhan Primer dan Hasil Hutan
Pada dasarnya kebutuhan pokok
dipenuhi oleh lingkungannya. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa Orang Dayak
berburu dan berladang. Padi (Oriza Sativa) dari keluarga Poacerea adalah
suatu yang paling penting dalam kehidupan Dayak. Keaneka-ragaman jenis bibit
padi sangat tinggi. Masyarakat Dayak terdiri dari petani ladang
berpindah-pindah. Ladang gunung baru dipilih dengan izin kepala desa. Pada
umumnya hanya ladang yang ditanam setidaknya tujuh atau sepuluh tahun
sebelumnya digunakan lagi. Tanah hutan yang semakin lama tidak digunakan untuk
ladang semakin subur. Keuntungan lain dari ladang berpindah-pindah adalah
karena setelah tanah cukup lama tidak digunakan menjadi hutan lagi sehingga
tidak banyak rumput yang tetap hidup. Itu berarti ladang tidak perlu digarap
secara intensif setelah padi muncul dan tumbuh.
Biasanya padi ladang di tanam pada bulan Agustus
dan September, setelah ladang di bakar dan dibersihkan. Masyarakat tidak
menggunakan alat-alat canggih dan juga tidak menggunakan tenaga hewan seperti
kerbau atau sapi. Mereka hanya menggunakan parang, kapak, cangkul dan tenaga
manusia untuk mempersiapkan ladang.
Petani-petani menggunakan abu
dari kayu yang dibakar sebagai pupuk yang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan
padi di ladang. Seandainya ladang sudah siap untuk disebarkan bibit padi,
petani membuat lubang dengan tongkat, setelah itu langsung beberapa bibit padi
dimasukkan dan lubang ditutupi.
Ada upacara pada saat bibit padi
ditanam dengan gaya melingkar dan memberi korban ayam sebagai sesajen. Selama
masa tumbuh padi ada ritual dan memberi korban sesajen, supaya roh jahat dan
baik merasa puas dan panen tidak gagal tetapi berlimpah. Pada waktu ritual
sesajen ada pantangan makanan pada keluarga sesuai dengan yang disuruh oleh balian,
misalnya tidak bisa makan rusa atau rebung selama beberapa minggu. Pesta
besar bernama Gawai ada pada waktu panen.
Jenis bibit padi tidak dicampur dengan jenis bibit
lain pada waktu ditanam, tetapi bagian ladang yang lain bisa digunakan untuk
jenis tamanan lain. Di ladang mereka sering menanam sayur, ubi kayu (Manihot
uthlissima), ubi jalar (Hamoea Batatas), jagung (Zea Mays),
tebu (Saccharum off Tiongkokrum), ketimun (Cucumis SP) dan
jenis lain.
Di desa Paham masyarakat mencoba
menanam padi unggul, sejenis padi yang diluarkan oleh Dinas Pertanian. Petani
sudah menanam jenis padi unggul dua kali dengan hasil yang kurang memuaskan,
karena bibit unggul tidak tahan serangga dan kemungkinan jenis bibit unggul
tidak cocok dengan kesuburan ladang dan jenis tanah mereka. Sekarang petani
tidak berani lagi menanam bibit itu.
Kekayaan diversitas bibit padi
petani tradisional sebenarnya jauh berbeda dengan diversitas bibit padi
masyarakat yang lebih maju yang diversitas bibitnya lebih kecil. Sama dengan
diversitas perkebunan tradisional dengan perkebunan yang modern. Perkebunan
karet tradisional termasuk pohon buah-buahan, rotan dan tumbuh-tumbuhan lain yang
bermanfaat bagi masyarakat dipelihara. Itu jauh berbeda dengan perkebunan
monokultur kelapa sawit yang memerlukan banyak pupuk dan pestisida.
Obat-obatan pertanian atau
pestisida dan herbisida sudah masuk daerah terpencil dan dikenal oleh petani
tradisional. Ongkos buruh dengan ongkos penggunaan herbisida untuk membersihkan
dan memudahkan penggarapan tanah hampir sama. Kelihatannya bahwa kebijakan
perusahaan multi nasional herbisida menyadari ongkos potong rumput ladang
secara manual dengan efek dan ongkos penggunaan Roundup sebagai
alternatif yang ongkosnya hampir sama. Penggunaan obat-obatan di pelosok
tersebar luas dan ladang padi tradisional tidak selalu bebas dari racun
tersebut.
Gaji buruh di desa yang
pekerjaannya tidak berat, seperti memotong rumput mendapat upah 10.000 rupiah
per hari dan kerja berat seperti memikul barang mendapat upah sampai 20.000
rupiah per hari. Di daerah tradisional juga ada sistem kerja Belalé yang
berarti tukar menukar tenaga kerja pada waktu yang berbeda, tidak ada pembayaran
dalam belalé tetapi hanya tukar hari saja.
Pada zaman dulu padi yang berasal dari pegunungan
yang ditanam di hulu sungai oleh masyarakat Dayak sangat diminati. Gabah dari
ladang gunung bernilai tinggi dan ditukar atau dijual kepada pedagang Melayu yang
mampir untuk menjual dan membeli barang yang diminati oleh masyarakat Dayak.
Dewasa ini harga beras terlalu
rendah dan padi hanya ditanam untuk kebutuhan sendiri. Sekitar ibu kota
Kapubaten Bengkayang diamati beberapa sawah yang tidak ditanami lagi pada musim
tanam ini, sebab harga pasar yang diatur oleh pemerintah pusat tidak seimbang
dengan ongkos dan usaha petani. Seandainya panen gagal atau hasil tidak cukup
dengan kebutuhan hidup mereka maka keperluan beras dibeli di pasar. Ada
beberapa tanaman yang khusus ditanam untuk dijual seperti kopi, jahe dan
terutama getah dari pohon karet (Helvea brassiliensis), lada, dan jagung
(Zea Mays). Bibit pohon karet masuk ke Indonesia pada zaman kolonial dan
menjadi salah satu penghasilan pokok suku Dayak tradisional. Perkebunan
tradisional karet di hutan sangat sesuai dengan lingkungannya. Banyak jenis
pohon yang bermanfaat bagi masyarakat juga ditanam yang mengakibatkan
keanekaragaman hayati hutan. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
sekitar delapan bulan masyarakat menyadap pohon karet, selama empat bulan waktu
musim hujan tidak bisa menyadap karet. Artinya masyarakat menyadap karet
tergantung pada cuaca. Penghasilan per hari per 100 pohon karet sekitar lima
kilogram yang sudah beku dan dijual ke perantara.
Lada adalah penghasilan agraris
penting kedua di daerah Seles. Buahnya dijemur dan langsung dijual kepada
makelar. Seandainya buah lada dicuci sebelum dijemur supaya kulit bijinya lepas
maka nilainya lebih tinggi.
Selain pohon karet juga ada pohon lain dengan
nilai ekonomi tinggi. Di daerah Seles tidak banyak pohon yang dapat ditebang
untuk dijadikan papan. Dusun Seles yang terletak jauh dari jalan raya itu tidak
banyak memiliki pohon yang cukup besar. Pohon buah-buahan sangat penting bagi
masyarakat. Pohon-pohon tersebut antara lain adalah pisang yang ada banyak
jenisnya seperti; pisang Mas, Palembang, Otel, Ambon, Selandang, Kapal, Kanyi,
Nyawah yang berwarna merah, Bodol, Raja, Sejampu, Kapas, Kaok, Susu, Tandur dan
yang untuk dimasak jenis pisang Pilin.
Ada juga perkebunan buah-buahan
warisan dari nenek moyang dekat gunung Seles di bekas pemukiman lama. Walaupun
lokasi rumahnya sudah kembali menjadi hutan, pohon buah-buahan yang dulu
ditanam di sana masih ada. Pohon buah seperti; Rambutan (Nephilium Lapian),
Cempedak (Anthogarfus Intersa), Durian, Manggis, Duku, dan Petai.
Di desa Seles ada perkebunan
karet, ladang gunung dan hutan. Walaupun hutan tidak sama luasnya dengan pada
waktu nenek moyang, berburu merupakan salah satu tradisi kaum laki-laki Dayak
yang masih dilakukan. Binatang adalah salah satu sumber protein penting bagi
masyarakat Dayak. Dulu pemburu-pemburu menggunakan senjata sumpit tetapi
sekarang ada senapan, yang dalam bahasa Bakati disebut badil yang mereka
buat sendiri. Kebanyakan pemburu memburu binatang sendirian dengan senjata
senapan, mereka tidak berburu dalam kelompok. Pemburu menembak atau memasang
perangkap untuk menangkap babi, rusa, kijang, landak, monyet, kera dan binatang
lainnya.
B. Penambangan Emas
Di bagian selatan Kalbar sejak
lama masyarakat Dayak melakukan dompeng atau Penambangan Emas Tanpa Izin
(PETI). Aktivitas PETI di sungai Teriak di desa Seles baru muncul beberapa
tahun belakangan ini. Sekitar 50 rakit dan sampan dengan peralatan mesin disel
dan pompa digunakan untuk mencari emas di dasar sungai dekat dusun Seles. Pada
musim kemarau sungai menyusut sampai sekitar tujuh meter dalamnya sehingga
pekerjaan penyelam tidak begitu sukar. Awak yang bekerja di rakit atau sampan
berjumlah sekitar empat atau lima orang. Tugasnya terdiri dari menyedot air
lumpur dari palung sungai yang disemprotkan di kain tebal yang berada di sampan
dan menjaga selang udara penyelam dan selang air yang menyedot pasir dari
palung sungai. Awak sampan bertugas mencuci hasil lumpur yang mengandung debu
mas, memasak untuk karyawan di sampan dan mengambil solar dan juga keperluan
lain yang harus didapat beberapa kilometer jaraknya dari dusun.
C. Seni
Seni adalah konsep yang terkait
dengan segala aspek hidup sehari-hari orang Dayak. Mulai dari alat cangkul yang
digunakan di ladang sampai patung kepercayaan yang dipahat memiliki nilai
religi yang tinggi.
Salah contoh karya seni lain adalah sejenis alat
dari bambu dan rotan yang bernama bubu untuk menangkap ikan, keong dan
kepiting. Sebenarnya bubu adalah suatu kerajinan-tangan yang dibentuk
dengan sangat indah. Dulu memang ada banyak peralatan sehari-hari seperti,
pakaian, senjata, topeng, tikar, patung, keranjang, dan tempat untuk menyimpan
beras yang diciptakan dan dibuat oleh masyarakatnya sendiri.
Pakaian khas Dayak dari kulit kayu masih dipakai
pada waktu Perang Dunia Kedua. Waktu itu memang sulit sekali untuk mendapatkan
kain untuk menjahit celana dan baju, itu alasannya masyarakat kembali
menggunakan pakaian tradisional. Warna juga menjadi hal yang penting bagi orang
Dayak. Dulu orang Melayu yang menjual kain kepada orang Dayak hulu sungai
menyatakan bahwa hanya warna hitam dan merah yang diminati oleh orang Dayak.
Sekarangpun warna hitam dan merah masih menjadi warna tradisional Dayak
Kanayatan.
Di Senapit ada pondok adat warisan dari nenek
moyang, yang tidak jauh dari gereja Katolik. Jarang orang yang masuk daerah itu
lagi, terutama pemuda dan pemudi. Di sana ada beberapa patung yang bernama Raja
Gandi, Niagun Nimpa, Gandi Amas dan Bereniyo yang mengandung nilai spiritual
yang menjaga manusia dari kesialan dan membantu masyarakat mengatasi masalah. Balian
di Senapit yang sudah cukup tua telah banyak lupa tentang hal yang
diceritakan oleh orang tua mereka, seperti mengenai roh-roh dan tempat
spiritual tersebut. Dulu memang masyarakat berkumpul di tempat suci itu pada
waktu panen, menanam padi atau kalau ingin mengadakan perayaan yang besar.
Tidak jauh dari patung ada tempayan kuno yang digunakan dalam upacara
tradisional. Di atas tempat patung tradisional itu ada beberapa tengkorak yang
bagian tulang atasnya diberi motif tradisional. Tengkorak di pondok suci adalah
tengkorak hasil pengayauan oleh panglima pada zaman dulu.
3.
Kehidupan di Desa Seles
Di dusun Senapit sebelum tahun
60-an ada empat rumah panjang yang dinding dan lantainya dibuat dari bambu.
Pada waktu itu atap rumah dibuat dari daun sagu yang isi pohonnya juga
digunakan sebagai bahan makanan. Pak Aloysius, salah satu tokoh masyarakat
Senapit masih ingat ketika dia bermain di bawah salah satu rumah panjang yang
berpintu 50 yang berarti dihuni oleh 50 kepala keluarga (KK).
Secara tradisional suku Dayak
tinggal di tengah hutan di rumah panjang yang tingginya beberapa meter dari
tanah sehingga penghuni menggunakan tangga untuk naik ke lantai rumah. Mereka
tinggal di rumah panjang yang tinggi dari tanah supaya hidup lebih aman dari
binatang ganas. Pada zaman dahulu hal itu juga dimaksudkan untuk menghindari
musuh anggota suku Dayak yang mencari kepala manusia (ritual pengayau) sebagai
bagian dari kepercayaan mereka. Menurut kosmologi mereka kegiatan mengayau
dilakukan supaya mendapat kekuatan gaib yang menguntungkan bagi suku dan daerah
mereka. Selain itu juga untuk mengusir roh jahat dan sesuatu yang tidak baik
atau menyakitkan bagi kehidupan manusia.
Semakin lama semakin sering orang
Dayak didesak oleh pihak dari luar untuk mengubah gaya pemukiman karena alasan
kesehatan masyarakat, politik, pengamanan dan lain-lain. Setelah masyarakat
tidak membangun rumah tradisional yang panjang dan tinggi lagi, masyarakat
membangun sebuah rumah panjang langsung di atas tanah, bergaya Cina. Semakin
lama semakin banyak orang Dayak membangun rumah sendiri dengan gaya arsitektur
yang tidak lagi tradisional. Dewasa ini bentuk rumah tidak sama, keanekaragaman
arsitektur yang digunakan oleh masyarakat sangat tinggi. Ada banyak rumah
dengan lantai yang terbuat dari papan kayu atau dari semen, ada yang
menggunakan atap dari daun sagu atau seng dan ada rumah yang bertingkat.
Walaupun kebanyakan masyarakat kelihatannya egaliter, tetapi ada keluarga yang
lebih mampu membeli barang mewah dari pada keluarga lain dan rumahnya lebih
berkecukupan meskipun tidak berlebih-lebihan.
Jumlah penduduk di dusun Senapit
stabil walaupun jumlah anak cukup besar tetapi ada banyak anak yang pindah
keluar untuk mencari nafkah atau pendidikan di Bengkayang, Pontianak dan Jakarta.
Juga ada pemuda yang mencari pekerjaan di Malaysia. Menurut adat mereka bebas
untuk menikah di luar kelompok Kanayatan. Seandainya kesempatan lebih baik di
tempat mertua, pasangan baru membangun rumah dan keluarga di sana. Pada umumnya
sifat orang tua sangat liberal, pemuda tidak dipaksa oleh orang tua untuk
menetap di Senapit, mereka bisa memilih sendiri tempat yang cocok untuk
membangun keluarga atau memilih istri atau suami dari agama lain.
Ada harta milik bersama dan
pribadi di dusun. Harta bersama terdiri dari tanah hutan yang digunakan untuk
berladang dan berburu binatang. Tiap tahun pada saat tertentu tokoh masyarakat
dan masyarakat musyawarah untuk memecahkan masalah pembukaan ladang di hutan
dan urusan lain. Pada zaman dahulu seluruh masyarakat ikut perintah tokoh
masyarakat mengenai arah mana membuka dan menggarap ladangnya. Dewasa ini semua
warga desa bebas untuk membuka ladang dimana-mana di daerah bagian dusun
Senapit di desa Seles. Sebelum membuka ladang harus memberitahukan lebih dulu dimana
warga desa ingin membuka, supaya tidak mengganggu orang lain.
Harta pribadi adalah seperti
sawah, kolam, perkebunan karet dan lada serta rumah pribadi. Harta pribadi atau
hak tetap bisa ditukarkan atau diperjualbelikan antar kelompok di desa, tetapi
perlu mendapat izin terlebih dahulu dari tokoh masyarakat, termasuk ketua adat,
kepala dusun, dan kepala desa. Sejak lama masyarakat menyimpan kekayaan dalam
bentuk emas. Seorang informan memberitahukan bahwa bapaknya menyimpan emas yang
digunakan untuk membeli sawah dan kolam, supaya kebutuhan keluarganya
terpenuhi.
Pada akhir tahun 2004 desa Seles terdiri dari
empat dusun yaitu; dusun Senapit, dengan 45 Kepala Keluarga (KK), dusun Seles
dengan 14 KK, dusun Tribun dengan 30 KK dan Sejaro dengan 30 KK. Dua dusun yang
terakhir berlokasi tetap. Empat kelompok dusun yang merupakan desa Seles dengan
pusat pemerintahan desa berada di dusun Seles. Pada tahun 1996 dusun Seles
pecah dari lokasi Senapit dan pindah sejauh 5 kilometer jauh dari lokasi dusun
Senapit, karena masyarakat berkeinginan tinggal dekat ladangnya, dekat dari
sungai Seles dan sungai Teriak yang mengalir ke Ledo dan juga dekat ke jalan
raya aspal yang jaraknya sekitar 15 km, supaya dusun dan warganya bisa
berkembang lebih cepat.
Walaupun kelihatannya masyarakat
Dayak egaliter, dewasa ini bisa diamati ada dua lapisan masyarakat; tokoh
masyarakat atau ningrat yang pada umumnya punya pengalaman atau ilmu yang lebih
tinggi dan lapisan masyarakat biasa yang termasuk golongan petani. Dahulu
memang lapisan-lapisan dibentuk lebih formal. Lapisan masyarakat atas terdiri
dari tokoh yang bergelar Singa yang mengurus tentang perkara
tindakan-tindakan kriminal seperti perkelahian, perzinahan dan pencurian. Ama
Bideda yang memberi keputusan apabila masalah tidak bisa diselesaikan oleh Kepala
Burung yang mengadili urusan dalam bidang persengketaan, khususnya tanah
ladang dan sawah. Kepala Adat yang menentukan adat, sangsi adat bersama Ama
Bideda. Pengarah, yang memberi nasihat dan petunjuk dalam proses penyelesaian
masalah (Petebang 2000 : 68). Di masyarakat Senapit ada balian, salah
satu tokoh masyarakat yang memberi nasihat kepada warga desa dan yang mengobati
orang dengan mantra dan upacara.
Pada suatu waktu di dusun
Senapit, ada kasus perempuan yang baru menikah tetapi setelah beberapa bulan
ada masalah dalam hubungan perkawinan. Perempuan dalam kasus ini berpikir bahwa
suaminya tidak peduli atau cinta lagi. Dengan menggunakan ilmu gaibnya balian
mencoba membuat baik hubungan itu dengan menggunakan jampi-jampi melalui
pakaian suami perempuan itu.
Pada zaman dulu tidak hanya ada dua lapisan yang
tadi disebut tetapi ada tiga lapisan; budak, orang bebas dan golongan atas
tetapi setelah pemerintah kolonial mengundangkan aturan yang melarang
perbudakan, tinggal dua lapisan masyarakat saja.
Di Senapit ada dua warung
sembako, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, yang dikelola oleh Pak
Aloysius dan Pak Amir. Di Seles ada satu warung yang juga membeli getah karet
beku. Sekitar tahun 1942 salah satu sekolah rakyat
pertama di kecamatan Ledo didirikan di Senapit, karena pada waktu itu
pemerintah berpendapat bahwa dusun Senapit terletak di tempat strategis yang
akan berkembang pada masa depan. Dewasa ini dusun Senapit masih di daerah
pelosok yang sampai sekarang belum strategis, tetapi jumlah anak yang
bersekolah di SD Senapit sudah berjumlah 112 murid. Mereka datang dari dusun
Seles yang jauhnya enam kilometer, dusun Sebangan yang jaraknya dua kilometer,
dusun Tebalian jaraknya tiga kilometer dan dusun Sebawak jaraknya dua
kilometer. Walaupun sekolah pada umumnya harus mulai jam tujuh pagi, karena
dusun Seles jaraknya cukup jauh dari Senapit, sekolah mulai jam delapan sampai
jam duabelas. Murid dari Seles yang berjalan kaki perlu satu setengah jam
perjalanan, mereka membawa kotak nasi dan makan sarapan sambil berjalan ke
sekolah. Ada enam kelas di SD Senapit. Di kelas satu dan kelas dua guru SD
menggunakan bahasa Bakati sebagai bahasa pengantar dan dari kelas tiga sampai
kelas enam bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa pengantar. Menurut
informan 98 persen dari anak yang tamat SD melanjutkan pendidikan di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang terletak 21 kilometer jaraknya ke Ledo.
Kebanyakan murid SLTP tinggal di kos, dengan keluarga atau teman yang berada di
Ledo. Pada waktu libur mereka mudik.
Di dusun Senapit juga ada gereja
Katolik dan tiap hari Minggu jam tujuh pagi ada misa. Walaupun semua penduduk
di desa Seles masuk agama Katolik, tidak semua masuk gereja. Masyarakat di
pelosok sering menganut agama secara nominal dan yang dikatakan oleh informan
penganut Katolik, agama Katolik dan kepercayaan tradisional memang punya banyak
persamaan. Misalnya mitos penciptaan dunia yang diceritakan di atas, menjadi
salah satu contoh yang menjelaskan kesamaan tersebut. Masyarakat yang masih
ikut kepercayaan tradisional, takut kehilangan kekuatan gaib yang hanya didapat
dari kepercayaan tradisional. Walaupun mereka menganut agama resmi, akan tetapi
upacara tradisional seperti saat membuka ladang, menanam padi, dan saat panen
masih tetap dilaksanakan. Pertanian adalah faktor utama dalam budaya dan
kepercayaan tradisional Dayak.
Di dusun ada pondok adat kecil
yang suci yang terletak di dekat sekolah. Dalam pondok kecil tersebut ada
beberapa tengkorak yang didapat oleh panglima pada masa lalu waktu mereka
mengayau. Juga ada beberapa patung tradisional dan tempayan. Baru-baru ini
beberapa tengkorak dan patung hilang. Rumput di tempat adat tersebut agak
tinggi dan tidak dipelihara dengan baik lagi. Kebanyakan masyarakat tidak
memeluk kepercayaan dari nenek moyang lagi dan tidak mengikuti tradisi adatnya
secara penuh lagi.
Desa Seles adalah daerah
pegunungan yang belum punya jalan lebar tetapi punya jalan setapak dari jalan
raya beraspal sekitar 20 kilometer jauhnya. Ada beberapa sungai, seperti sungai
Seles dan Teriak yang bisa diseberangi dengan jembatan yang dibuat oleh
masyarakat dengan kawat besi dan papan kayu, yang cukup kuat untuk
menyeberangkan sepeda motor. Pada musim hujan ada sampan yang sampai ke
Bengkayang dan Ledo dari dusun Seles. Dua jam berjalan kaki jauhnya, ke arah
timur terletak dusun Lembakarya yang didiami oleh orang Melayu. Hanya satu
orang beragama Kristen tinggal di sana, dan dia pegawai negeri, guru SD.
Beberapa kali seminggu, beberapa orang Senapit mampir di Lembakarya untuk
menjual penghasilan karet dan membeli makanan pokok yang kurang cukup di
Senapit. Dusun Lembakarya yang didirikan oleh orang Melayu asal dari Sambas
terletak sekitar tujuh km dari Senapit dan letaknya strategis di pinggir sungai
Sambas kecil
Pak Lumoni yang lahir pada tahun 1928 di dusun
Lembakarya menceritakan bahwa, menurut mitos dari nenek-moyang, orang Melayu
pada intinya berasal dari Minangkabau yang merantau ke Kalimantan beberapa abad
lalu. Pada waktu Islam masuk sekitar abad ke-15, Sultan Syafiudin dari kerajaan
Sambas menikah dengan perempuan Dayak Iban dari Brunei, artinya ada hubungan
darah Melayu dengan Dayak. Sebagian masyarakat dari Sambas disuruh mencari
nafkah di hulu sungai, karena itu mereka mendirikan Lembakarya, satu tempat
aman dan strategis untuk perdagangan yang menjadi pusat daerah untuk
tukar-menukar barang yang dibawa dari Sambas. Pak Lumoni masih ingat pada saat
dia masih kecil pergi ke hulu sungai dari Sambas. Mereka melakukan perjalanan
dengan membebani sampan sampai 500 kilogram dan menggunakan tenaga manusia
untuk mendayung dengan galah dan sampai ke Lembakarya dalam waktu tiga atau
empat hari.
Kelompok bahasa suku Dayak Kanayatan
diklasifikasikan sebagai bagian keluarga dari bahasa induk Austronesia. Lebih
persis sub keluarga bahasa Malayu-Polinesia Barat menurut sebuah organisasi
ahli linguistik bernama Ethnologue. Suku Dayak Kanayatan berlokasi di utara
dari Pontianak dan selatan dari perbatasan Malaysia-Indonesia. Kota yang
penting di daerah suku Kanayatan adalah kota Bengkayang, Lumar, Sangga-Ledo,
Salamantan, Menjalin, Darit, Ngabang dan Serimbu.
4.Mitos lisan
suku Dayak mempunyai banyak mitos
lisan, pantun dan lagu-lagu yang nilainya penting dari sudut kebudayaan. Sastra
lisan dalam bentuk lagu-lagu digunakan pada waktu tertentu, seperti lagu-lagu
yang dinyanyikan pada waktu menidurkan anak-anak. Ada lagu untuk tarian yang
dinyanyikan saat pesta, ada lagu lainnya yang dinyanyikan pada waktu panen atau
sedang menggarap ladang. Ada juga lagu yang dinyanyikan pada waktu mengobati
orang. Dukun atau yang dikenal dengan gelar balian menyanyikan lagu-lagu
ritual dan mengucapkan mantra spiritual untuk menyenangkan roh atau malaikat
baik, dan juga untuk mengusir roh yang jahat.
Ada sastra lisan dalam bentuk
dongeng-dongeng dengan nilai-nilai moral atau epik yang diceritakan ketika
semua warga desa berkumpul pada waktu malam. Ada sastra lisan yang diungkapkan
pada waktu memakamkan jenazah dan upacara tertentu, dan juga ada sastra lisan
dalam bentuk pantun seperti yang dikenal dalam sastra Melayu.
sumber: BEBERAPA PENGGAL KEHIDUPAN DAYAK KANAYATAN - Johan Weintré (UGM)